Bangli adalah sebuah kabupaten di
Bali yang tidak punya pantai. Kasian ya. Belum lagi kalau bicara Bangli, asosiasi orang langsung ke RSJ alias rumahnya orang gila. Jadi malu kalau mau bilang main ke Bangli. Kasian banget ya. Hehe udah stop stop. Bangli itu indah. Punya gunung berapi dan Danau Batur yang sangat terkenal di daerah Kintamani. Juga dikenal dengan anjing ras asli
Bali yaitu Anjing Kintamani yang berwarna putih.
Ada juga daerah tujuan wisata yang beragam seperti desa budaya nan asri yaitu Desa Penglipuran, pemandangan alam yang gersang berbatu lahar maupun hijau berbukit-bukit. Mau cari jalur ‘trekking’ maupun sepeda yang ‘off the beaten’ sampai yang ‘beaten’ ancur juga tersedia. Hehehe serius, semua ada. Jadi mirip-miriplah dengan ‘palugada’ alias ‘ape lu mau, gua (baca: Bangli) ada’. Kalau ga percaya, tanya Nengah, yang putra Bangli aseli.
Kali ini ide menjelajah jalur cross country datang dari teman teman 46gowesers yaitu sebuah komunitas bersepeda yang dimotori oleh para karyawan Bank BNI 46. Nengah adalah salah satu personil 46gowesers yang berasal dari Bangli dan menunggangi sepeda ‘hardtail’ GT berwarna putih. Nengah pulalah yang berinisiatif untuk mencari jalur sepeda yang asik dan cukup menantang. Promosi Nengah tentang jalur rancangannya ini pun berbunga-bunga. Mantap ya, soalnya habis ikut pelatihan ESQ nya Ary Ginanjar. Huehehe hebat. Kita buktikan nanti ya.
Bubur Kacang Ijo
Tempat ngumpul kali ini bukan di Warung Rani tapi di kantor Cabang BNI 46 Gajah Mada yang terletak di simpang Jalan Gajah Mada dengan Jalan Sumatra di jantung Kota Denpasar. Kali ini pukul 6 pagi hampir seluruh gowesers sudah berkumpul sesuai janji. Ga pake molor ya. Dua buah mobil pick up siap mengangkut sepeda dan tuannya. Loading sepeda pun dilakukan dengan cepat. Semua terlihat bersemangat. Apalagi setelah tukang kacang ijo datang. Kebetulan, belum sempat sarapan.
Pukul 07.00 WITA, all set and ready to go. Kami pun mulai melintasi jalan kota Denpasar yang masih lengang karena libur panjang untuk merayakan Hari Raya Galungan yaitu hari kemenangan Dharma melawan Adharma. Atau dalam konteks kekinian menjadi kemenangan KPK melawan para koruptor. Et daaahhh. Nuansa kebersamaan terasa kental meski para gowesers ini ga kuasa nolak diangkut dengan mobil pick up.
Satu jam kurang dikit perjalan dari Denpasar menuju rumah Nengah. Tidak terlalu lama, tapi kok ya jadi lapar lagi? Salah satu personel gowesers dengan inisial DIKA katanya suka diam seribu basa kalau lagi lapar. Gawat nih kalau DIKA lapar di Bangli dan menjadi diam bengong-bengong… rute sepeda bisa langsung berubah jadi ke RSJ hehehe. Jangan ah! Nampaknya Nengah cukup prepared dan bertanggung jawab terhadap nasib kami-kami ini, para gowesers. Buktinya, kami langsung disuguhi dengan jajan khas Bali yaitu ketan item yang ditaburi dengan kelapa parut bergula Bali (kalau di Jawa jadi Gula Jawa, kalau di Jawa Barat jadi neng geulis… manisnya sama! Di Menado juga… ealah apa coba?). Plus tak ketinggalan teh hangat manis. Ayo siapa doyan yang manis manis…
Setelah urusan ganjal perut selesai, kami pun siap-siap bergowes ria. Perjalanan dimulai dari desa Taman Bali, rumah Nengah, menuju Kota Bangli. Jalur on road dan terus menanjak. Ditengah perjalanan kami diguyur hujan ringan tapi tidak menyurutkan niat untuk terus gowes. Kami melintasi jalan kampung. Suasana pedesaan langsung terasa. Udara bersih dan segar. Biasanya dimana pun kami bersepeda dan masuk kampung, kami selalu disapa ramah oleh anak-anak. “Halooooo…. Haloooooo…” Rasanya senang juga disapa meski dimata mereka, kami ini mungkin bak sirkus lewat. Tontonan gratis lah.
Rute nanjak kok ya berseri kayak kartun The Legend Of Aang aja. Sambung menyambung dan bikin penasaran sekaligus mual, kata Lilik, seksi sibuk di komunitas ini. Kota Bangli sudah kami lewati dan langsung menuju desa Kubu. Jalannya sih mulus tapi nanjaknya itu ga kuaat. Lilik pun melengos dan terduduk lemas dipinggir jalan. Kalau nanjak, pandangan dua meter, Lik. Ingat ya.. hehehehe
Setelah istirahat sebentar, kami pun melanjutkan menaklukkan tanjakan desa Kubu dan tiba diujung jalan menuju desa Penglipuran. Desa ini menjadi tujuan wisata karena memiliki ciri khas atap bambu. Ya, Penglipuran dikenal juga dengan hasil kerajinan gedek bambu dengan kualitas terbaik. Sebelum masuk ke desa wisata ini, kami sempat menikmati hutan bambu yang cukup lebat. Jika dibandingkan dengan hutan bambu yang saya lewati di jalur off road Kintamani, ini lebih lebat. Sayang, jalur hutan bambu ini belum di explore oleh Nengah sehingga kami hanya melintas sekejap. Bahkan kami sempat berputar-putar tiga kali dihutan ini, entah karena Nengah lupa jalur berikutnya atau karena memang ingin menikmati lebih lama. O’ya, juragan BikeCamp RHD masih sibuk dengan GPSnya (silakan baca cerita Ubud, pasti geli). Kok muter-muter terus, katanya. Nah lho....
Akhirnya sempat juga kami merasakan off road sedikit yaitu melewati jalan tanah berlumpur. Gowesers yang sayang dengan sepedanya lalu mengangkat sepeda agar tidak terkena lumpur. Belum lunas, katanya. Perjalanan ini memang penuh dengan gelak canda dan tawa. Ini yang menyenangkan dalam olah raga bersepeda. Ada adrenalin sesuai dengan jiwa kita, ada keringat yang selalu mengucur, jantung yang terpompa dengan baik, dan jiwa yang segar oleh pemandangan, tawa dan canda. Promosi nih bagi yang belum mulai bersepeda. Nengah, tolong dibantu promosinya dengan gaya ESQ?
On the way, kami melewati Taman Makam Pahlawan Penglipuran. Kami pun sepakat untuk singgah untuk mengenang dan menghormati jasa-jasa pahlawan pejuang kemerdekaan RI. Masih dalam suasana peringatan Hari Kemerdekaan RI yang ke 63, kan? Kami pun berbaris rapi dan memberi hormat didepan pusara para pahlawan yang gugur. Setelah itu kami mengheningkan cipta sejenak. Tiba-tiba ditengah suasana khusyuk mengheningkan cipta, kami mendengar suara tokek dari pohon keramat disebelah pusara. Kami pun merinding. Terimakasih wahai pahlawan atas jasamu yang tiada tara. Sekali Merdeka Tetap Merdeka!
Desa Penglipuran
Next destination adalah desa Penglipuran, ini sudah didepan mata! Memang luar biasa desa wisata ini. Pintu gerbang rumah khas Bali berjejer rapi di kiri kanan jalan kecil berbatu. Penjor-penjor masih terpasang menambah suasana religius. Langsung deh kumat semua pengen jadi model. Foto sana sini dan langsung lanjut gowes lagi menuju desa Taman Sari.
Jalur on road kampung kembali kami jelajahi. Ini mah udah mulai terasa bonusnya. Turunan terus! Dan kali ini kami bertemu dengan para pesepeda cilik. Yup, masih dengan ciri khasnya berhalo-halo. “Halooo… Halooo…” Jalur ini kami lalui dengan mulus kecuali hampir ada insiden kecil dimana Dika hampir saja masuk got karena terlalu cepat diturunan tajam yang berbelok. Hehe hati-hati ya. Hampir saja. Udah laper lagi, gitu?
Jalur pulang ini tidak terlalu berat meski ada beberapa tanjakan tapi sebagian besar lulus! Dua jempol saya berikan (pengennya sih ngasih tiga jempol, tapi yang satu takutnya agak bau). Satu jempol untuk ide dan usaha yang dilakukan oleh Nengah dan teman-teman 46gowesers ini. Ga mudah loh menyiapkan sarana dan prasarana untuk melayani dan memuaskan orang lain or even kawan sendiri. Satu jempol lagi saya berikan karena pilihan rutenya yang selain menarik dan beragam juga pas untuk kalangan sendiri. Nengah mengerti betul kemampuan teman-temannya. Pengennya sih diulang lagi dengan lebih banyak rute off road dan melingkar dalam arti jangan melewati jalan yang sudah dilalui untuk menghindari kebosanan. OK, Ngah?
Penutup acara, makan kembali disiapkan oleh empunya rumah. Ga ada deh yg basa-basi dengan ucapan “aduuuh kok pake repot-repot segala” karena semua sudah kelaparan. Pantesan Dika dari tadi diem aja. Eh, eh, dua bungkus, Dik?
Rasa puas terpancar dari semua gowesers. Salut!
Thanks to rekan-rekan 46gowesers:
Nengah
Agung Mahendra
Lilik
Sigit
Dan rekan-rekan yang lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Rochmad Setyadi (BikeCamp)